Desak Revisi UU Penyandang Cacat

Surabaya-AKSES para penyandang cacat khususnya tuna netra terhadap peraturan perundang-undangan selama ini masih lemah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan fisik dan minimnya dukungan sarana prasarana dalam memahami aturan-aturan tersebut. Untuk memudahkan para penyandang tuna netra, Universitas Muhammadiyah Surabaya berinisiatif melakukan perubahan huruf terhadap dua undang-undang. UU itu adalah UU No 4 /1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

”Kedua UU tersebut kita ubah hurufnya menjadi huruf braile, sehingga dua UU ini mampu dipahami dan dipelajari oleh para penyandang cacat tuna netra,” kata Umar Sholehuddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya di sela-sela Talk Show Anti Diskriminasi Hukum Terhadap Tunatera serta launcing UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak berhuruf braile di Yayasan Pendidikan Anak-anak buta, di Jl Tegalsari No 56, Surabaya.

Umar menjelaskankan bahwa pembuatan UU berhuruf braile ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap hak-hak penyandang cacat. Dengan menggunakan huruf braile, penyandang cacat khususnya tuna netra bisa belajar lebih detail mengenai hak-hak yang dimiliki penyandang cacat dan kewajiba apa yang seharusnya diberikan oleh pemerintah. ”Dengan belajar melalui UU itu, kita harapkan mereka memiliki pemahaman mengenai hak-hak yang harus diperjuangkan. Hal ini untuk menghindari diskriminasi,” tandasnya.

Meski begitu, kata Umar yang juga Koordinator Parlement Watch ini, dari risetnya terhadap UU No 4/1997, pihaknya menemukan beberapa kelemahan. Setidaknya ada 10-15 pasal yang belum cukup tegas untuk memberikan perlindungan bagi penyandang cacat. Seperti misalnya, belum tegasnya pengaturan mengenai rehabilitasi, kesejahteraan sosial, penghidupan yang layak bagi difable, ataupun instrument sarana dan prasarana bagi kaum difable di ruang publik. Termasuk tidak adanya sanksi tegas bagi yang tidak memenuhi kewajiban tersebut. ”Hal ini membuat kaum difable masih sering menerima diskriminasi di ruang publik dan instansi pelayanan publik,” katanya.

Umar mengakui bahwa dalam hal kesempatan kerja bagi kaum penyandang cacat, secara nasional UU di negeri ini belum mengaturnya. Padahal di aturan internasional, yakni di ILO mengisyaratkan bahwa dalam satu perusahaan harus ada 1 persen penyandang cacat. ”Maka itu, kami mendesak kepada pemerintah dan legislatif untuk melakukan revisi terhadap UU No 4/1997 yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan kaum difable,” tegasnya.

Categories: Berita Terkini | Tags: , , , , | 2 Comments

Post navigation

2 thoughts on “Desak Revisi UU Penyandang Cacat

  1. Antok Prasetyo

    Mantabb keren banget itu yang punya ide.. Excellent

    • Ide kalo ga di laksanain, hnya akan mnjadi cerita. Yang harusnya di kasih jmpol yaitu kpd org2 yang turut mmbntu proses plkasanaan nya..

Leave a comment

Blog at WordPress.com.